Jaka Tingkir

Jaka Tingkir



Cerita Rakyat Jaka Tingkir -
            Suatu hari Ki Ageng Tingkir bermimpi, didalam mimpinya Ia mendapat wangsit supaya memetik kelapa muda dari pohon yang berada disamping rumahnya, didalam mimpinya Ia diminta supaya meminum habis air dalam kelapa muda tersebut. Karena barang siapa dapat meminum sampai habis secara langsung dalam sekali minum, kelak keturunanya akan menjadi penguasa yang besar. Setelah bangun dari tidurnya Ki Ageng bergegas menuju pohon kelapa yang ada dalam mimpinya. Perasaan heran muncul dalam benaknya, karena pohon yang semestinya belum berbuah tiba-tiba muncul satu buah kelapa muda yang cukup besar ukuranya. Karena takut ada orang lain yang akan memetiknya, Ia bergegas memanjat dan memetik kelapa tersebut.
            Ki Ageng bergegas mengupas kelapa muda tersebut, dan ingin meminumnya. Namun setelah bagian atas dari kelapa tersebut terbuka Ia melihat air kelapa yang cukup banyak. Sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam mimpinya, sehingga Ia berpikiran tidak dapat menghabiskan air kelapa tersebut dalam sekali minum, karena saat itu memang masih pagi dan Ia belum merasakan rasa haus.
Lalu Ki Ageng berinisiatif untuk menyimpan kelapa tersebut ditempat penyimpanan kayu diatas dapur rumahnya (pogo). Ia berpikiran dapat menghabiskan air kelapa tersebut dalam sekali minum setelah dirinya nanti beraktivitas seharian dan merasakan haus.
            Saat Ki Ageng Tingkir menggembalakan kerbaunya, kerabatnya dari Pajang yaitu Ki Ageng Pengging bertamu kerumahnya. Nyai Ageng Tingkir yang saat itu dirumah kebingungan untuk menjamu tamunya tersebut, karena pada saat itu belum memasak air untuk disuguhkan kepada Ki Ageng Pengging yang terlihat lelah setelah jauh melakukan perjalanan dari rumahnya.
          


Secara diam-diam ternyata Nyai Ageng Tingkir mengetahui apa yang dilakukan suaminya tadi pagi, Ia melihat Ki Ageng Tingkir mengupas kelapa dan menaruh kelapa muda tersebut ditempat penyimpanan kayu. Ia berpikiran kalau Ki Ageng Tingkir sudah mengetahui kalau Ki Ageng Pengging akan datang kerumahnya, sehingga Ia berprasangka Suaminya sengaja telah menyiapkan kelapa muda tersebut untuk disuguhkan kapada Ki Ageng Pengging.
Karena begitu haus setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, Ki Ageng Pengging menghabiskan air kelapa muda yang disuguhkan Nyi Ageng Tingkir dalam sekali minum.
Sore hari Ki Ageng Tingkir pulang dari menggembalakn kerbau-kerbaunya dengan rasa lelah dan sangat haus. Sesampainya dirumah Ia bergegas ingin mengambil kelapa yang disimpanya tadi pagi. namun Ia kaget melihat kelapa muda yang Ia simpan tadi sudah berada diatas meja dengan kondisi yang kosong tanpa ada sisa air kelapa didalamnya. Lalu Ia menanyakan kepada Istrinya, Nayi Ageng menjelaskan kalau kelapa muda tadi Ia suguhkan kepada Ki Ageng pengging yang baru saja bertamu kerumahnya. Karena belum begitu lama kepulangan Ki Ageng Pengging dari rumahnya, Ki Angeng Tingkir bergegas menyusul Ki Ageng Pengging yang sedang dalam pejalanan pulang.
Ki Ageng Tingkir berhasil menemui Ki Ageng Pengging saat dalam perjalanan pulang. Ia menjelaskan kepada Ki Ageng Pengging kalau kelapa muda yang diminumnya tadi bukanlah kelapa sembarangan, melainkan kelapa yang menjadi wangsit yang Ia dapat dari mimpinya, Ia juga menjelaskan bahwa barangsiapa meminum air kalapa tadi, kelak keturunanya akan mejadi seorang yang berkuasa. Oleh karena itu Ki Ageng Tingkir Berpesan kepada Ki Ageng Pengging, apabila keturunan Ki Ageng Pengging besok menjadi seorang yang berkuasa, Ia meminta supaya keturnanya juga diberikan tahta ataupun jabatan dalam kerajaan tersebut. Ki Ageng Pengging menyetujui permintaan Ki Ageng Tingkir tersebut, kemudian Ia melanjutkan perjalanan pulang.
Suatu hari Ki Ageng Pengging menggelar wayang Beber. Ia mengundang saudara-saudaranya yaitu Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Pada malam itu juga Nyai Ageng Pengging yang sedang hamil tua melahirkan anak laki-laki yang tampan parasnya.
Setelah bayi dibersihkan lalu dipangku oleh Ki Ageng Tingkir, Ia mengatakan kepada Ki Ageng Pengging kalau anak ini kelak akan besar derajatnya. Dan anak tersebut diberi nama Mas Karebet oleh Ki Ageng Tingkir, karena lahirnya pada saat ada pertunjukan wayang Beber.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Tingkir meninggal dunia karena sakit. Sepuluh tahun kemudian Ki Ageng Pengging diserang oleh Sunan Kudus dan pasukan Kesultanan Demak, karena dituduh memberontak kesultanan Demak. Akibat serangan tersebut Ki Ageng Pengging tewas. Setelah kematian suaminya Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu Mas Karebet di asuh dan diambil menjadi anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir. Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang yang pandai dan gemar bertapa. Atas petunjuk dari Ibu angkatnya Kemudian Ia berguru kepada Ki Ageng Sela. Dari sana Ia menjadi orang yang sakti mandraguna dan dikenal dengan nama Jaka Tingkir.
Ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi, mendapat wangsit kalau Jaka Tingkir kelak akan menjadi seorang pemimpin dikerajaan Demak. Lalu Ia memerintahkan Jaka supaya pergi ke Kesultanan Demak dan mengabdikan diri menjadi prajurit disana.
Sebelum berangkat menuju Kesultanan Demak Jaka Tingkir berpamitan kepada Ibunya Nyai Ageng Tingkir. Ia bercerita kepada Ibunya kalau Ki Ageng Sela yang memerintahkanya. Nyai Ageng Tingkir merestui kepergian putra angkatnya tersebut ke Demak. Ia memberi tahu kalau di Demak Ia mempunyai saudara yang bernama Ki Ganjur, Ia meminta Jaka untuk singgah disana.
Atas bantuan Ki Ganjur Jaka Tingkir berhasil diterima mengabdi kepada Sultan Demak. Kanjeng Sultan sangat kagum terhadap Jaka Tingkir, sebab berparas tampan serta sakti kedigdayaanya. Lama-kelamaan Jaka Tingkir diangkat menjadi pimpinan prajurit Tamtama yang sangat terkenal diseluruh Demak. Sultan Demak meminta Jaka Tingkir supaya tidak memegahkan diri namun senantiasa patuh kepada perintah Sultan, serta bijaksana didalam tanggung jawabnya sebagai pemimpin Prajurit Tamtama.

Suatu hari Sang Prabu berkeinginan untuk menambah prajurit Tamtama. Jaka Tingkir sebagai pemimpin diminta untuk menyeleksi dan menguji setiap pemuda yang ingin masuk menjadi prajurit Tamtama. Saat itu ada orang dari Kedu Pingit yang bernama Ki Dadung Awuk. Orang tersebut sangat sombong dengan kekuatan dan kesaktianya. Ia datang ke Demak berniat menjadi prajurit Tamtama.
Ketika dihadapan Jaka Tingkir Dadung Awuk sangat sombong, Ia tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir. Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Oleh Jaka Tingkir Ia ditusuk dengan Sadak. Hingga dadanya pecah lalu tewas.
Pada saat itu kematian Dadung Awuk dilaporkan kepada Sultan. Kalau Jaka Tingkir telah membunuh orang yang akan masuk menjadi prajurit Tamtama. Kanjeng Sultan sangat marah, sebab Ia adalah raja yang sangat adil. Kemudian Jaka Tingkir diusir dari Kesultanan Demak. Jaka Tingkir pergi seketika itu juga dari Demak. Orang-orang yang meliihat sangat sedih semua, teman-teman prajurit Tamtama juga menangisinya.
Jaka Tingkir lalu mengembara ke hutan dan berjalan hingga Gunung Kendeng. Disitu Ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng belum mengetahui kalau Ia Jaka Tingkir atau Mas Karebet putra kandung dari saudaranya Ki Ageng Pengging. Setelah Ki Ageng menolong Jaka Tingkir yang sangat kelelahan. Ia bertanya kepada Jaka Tingkir mengenai asal-usulnya karena Ia melihat Jaka Tingkir mempunyai kemiripan dengan saudaranya yang telah meninggal yaitu Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir menceritakan kalau Ia adalah anak dari Nyai Ageng Tingkir. Dari situ Ki Ageng kaget dan yakin kalau Jaka Tingkir adalah Mas Karebet anak dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Pengging. yang sepeninggal kedua orang tuanya Ia diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir yang tidak lain adalah Istri dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Tingkir.
Jaka Tingkir dirawat dengan sangat baik oleh Ki Ageng butuh. Ki Ageng juga mengundang saudaranya yaitu Ki Ageng Ngerang yang kemudian juga datang kesana. Setelah diberitahu kalau Jaka Tingkir adalah anak dari Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Ngerang segera memeluk dan menangis karena saat dulu ingin menengok ke Pengging ia tidak bertemu denganya karena Jaka Tingkir sudah dibawa Ibunya ke Tingkir.
            Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang banyak sekali memberi ajaran kepada Jaka Tingkir. Setelah menyelesaikan pelajaranya Jaka Tingkir pamit kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang untuk kemabali ke Kesultanan Demak. Ia beranggapan karena perginya sudah cukup lama Sultan pasti menanyakan dirinya.
            Setibanya di Demak Jaka Tingkir bertemu dengan teman sesama Prajurit Tamtama dahulu, Ia menanyakan apakah Sultan mencari atau menanyakan dirinya. Namun jawab para Tamtama, bahwa Sultan belum pernah menanyakan dirinya. Mendengar itu Jaka Tingkir sangat sedih hatinya. Lalu pamit kepada teman-temanya berniat untuk mengembara lagi.
            Didalam perjalananya Jaka Tingkir mendapat wangsit supaya pergi ke Banyu biru. Setibanya disana Ia bertemu dengan Ki Buyut Banyu Biru dan putra angkatnya yang bernama Mas Manca. Disana Jaka Tingkir diangkat menjadi putra oleh Ki Buyut. Kemudian bersaudara dengan Mas Manca.
            Setelah genap enam bulan Jaka Tingkir dan Mas Manca berguru dan mendapatkan pengajaran dari Ki Buyut Banyu Biru, Ki Buyut memerintahkan supaya Ia segera kembali ke Demak untuk menunjukan diri kepada Sultan. Ki Buyut juga memberikan tuntunan kepada Jaka Tingkir, karena saat itu sedang musim penghujan Ki Buyut mengetahui kalau Sultan pasti berada di Istana Gunung Prawata. Selain memrintahkan kepada Jaka Tingkir untuk kesana. Ia juga memberikan syarat yang bisa membuat Jaka Tingkir ditanggapi Kanjeng Sultan. Ki Buyut Banyu Biru memberikan Jaka Tingkir segenggam tanah Siti Sangar, yang sesampainya disana supaya Ia masukan ke dalam mulut Kebo Danu, yang nantinya kerbau tersebut akan mengamuk dan memporak porandakan Istana Prawata.
        

   Ki Buyut Banyu Biru juga menjelaskan, tidak ada seorangpun di Demak dapat membunuh kerbau tersebut. Itu yang menjadi sebab nantinya Sultan Demak akan memanggil Jaka Tingkir untuk membunuh kerbau tersebut. Karena Ia satu-satunya orang yang mengetahui kelemahan dari Kebo Danu itu, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu tanah Siti Sangar dari mulut kerbau tersebut. Yang kemudian Kebo Danu baru dapat ditaklukan.
            Dalam keberangkatan Jaka Tingkir ke Demak, Ki Buyut Banyu Biru memerintahkan Mas Manca dan kedua keponakanya yaitu Ki Wuragil dan Ki Wila supaya menemani perjalanan Jaka Tingkir sampai di Demak. Ia juga meminta Jaka Tingkir supaya ketiga orang tadi Ia jaga dan jangan sampai berpisah denganya. Karena kelak ketiga orang tadi akan membantu dirinya menjadi seorang yang berkuasa.
            Pagi hari Ki Buyut Banyu Biru dan murid-muridnya kemudian membuatkan rakit untuk Jaka Tingkir dan saudara-saudaranya. Setelah semuanya siap lalu Jaka Tingkir dan rombongannya berangkat menaiki rakit mengikuti aliran sungai Dengkeng menuju Demak. Rupanya saat itu ada anak buah dari Ki Buyut yang menjadi mata-mata gerombolan perampok yang sangat kuat dan ditakuti orang-orang di Banyu Biru. Mata-mata tersebut kemudian memberi tahu kapada gerombolanya kalau rombongan Jaka Tingkir akan melewati sungai Dengkeng untuk menuju ke Demak.
Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.
            Raja dari Baya tersebut bernama Bau Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut. Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang yang membuat dadanya sobek dan membekas sebuah sayatan. Namun Jaka Tingkir tetap melawan dengan bringas sehingga pada akhirnya Jalu Mampang dan anak buahnya tewas ditangan Jaka Tingkir. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk dihadapan Mas Manca. Bau Reksa dan sisa anak buahnya akhirnya diperintahkan Jaka Tingkir untuk membantu mendorong rakit Jaka Tingkir dan rombongan sampai di Demak.
            Sesampainya di Istana Prawata, Jaka Tingkir melihat Sultan masih singgah didalam istana. Tanpa berpikir panjang Ia mencari Kebo Danu disekitar Istana Prawata. Tidak butuh waktu yang lama Jaka Tingkir mendapatkan Kebo Danu dan langsung memasukan Tanah Siti Sangar kedalam mulutnya. Kerbau itupun mengamuk dan memporakporandakan Pesanggrahan Prawata. Banyak orang-orang yang luka dan tewas akibat keganasan Kerbau itu.
            Mendengar korban yang berjatuhan akibat amukan Kebo Danu semakin banyak, Sultan meminta Prajurit Tamtama untuk membunuh kerbau itu. Kerbau itu dikeroyok dan ditusuk berbagai senjata namun tidak mempan. Amukan kerbau itu telah berlangsung hingga tiga hari tiga malam belum ada seorangpun yang berhasil menaklukan amukan Kebo Danu. Kerbau itu dimalam hari masuk kehutan kemudian siang harinya keluar lagi mengobrak-abrik pesanggrahan dan memangsa orang-orang di pesanggrahan tersebut.
            Setiap hari Sultan berlindung diatas panggung pesanggrahan sambil melihat Kebo Danu mengamuk kesana kemari tanpa ada seorangpun yang berusaha menghadapi. Sultan hanya pasrah dan berharap Kebo Danu akan pergi dengan sendirinya dari pesanggrahan Prawata. Saat itu Jaka Tingkir tampil berjalan melewati depan panggung dengan santai seolah-olah tak peduli dengan keadaan yang terjadi. Sultan yang melihat Jaka Tingkir dan rombongan kemudian memanggil abdinya yang bernama Jebad. Kemudian menyuruh Jebad supaya menemui Jaka Tingkir dan meminta Jaka supaya menaklukan Kebo Danu. Sesuai dengan perintah Sultan apabila Jaka Tingkir dapat menaklukan Kebo Danu maka kesalahanya akan diampuni dan akan diterima kembali di Kesultanan Demak.
            Jaka Tingkir saguh dengan perintah Sultan. Kemudian Ia meminta kepada orang-orang disitu supaya mengepung mengelilingi Kebo Danu. Termasuk Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila membantu mengepung kerbau itu. Perkelahian hebatpun terjadi antara Jaka Tingkir dan Kebo Danu. Sultan yang melihat pertempuran itu menyuruh supaya prajuritnya menabuh gong Monggah untuk memberi semangat kepada Jaka Tingkir.
            Perkelahian antara Jaka Tingkir dan Kebo Danu berlangsung cukup lama, orang-orang yang menyaksikan saat itu keheran-heranan. Jaka Tingkir yang berulang-ulang jatuh dan dilempar keatas kemudian diterima dengan tanduk namun tetap terlihat trengginas meskipun badanya penuh luka. Kemudian oleh Jaka Tingkir tanduk serta ekor dari Kebo Danu ditangkap, lalu dihentak. Tanah Siti Sangarpun keluar dari mulutnya, kemudian Kebo Danu ditmpeleng hingga remuk kepalanya sehingga tewas seketika, membuat  kagum serta gembira Sang Sultan dan orang-orang yang pada saat itu menyasikanya.
            Sesuai dengan janjinya Sultan Demak menganugrahi Jaka Tingkir dengan mengembalikan kedudukanya seperti dahulu yaitu sebagai pemimpin prajurit Tamtama Kerajaan Demak.
            Jaka Tingkir dihadapan Sultan sangat menghormati. Ia patuh terhadap segala hal yang diperintahkan Sultan Trenggana. Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai pemimpin prajurit Tamtama, Jaka Tingkir dapat merubah kerajaan Demak menjadi lebih aman dan tentram sehingga membuat pikiran Sultan tenang dan nyaman. Hal itu rupanya menarik simpati Sultan terhadapnya. Oleh Sultan Trenggana, Jaka Tingkir akhirnya diangkat menjadi Bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, yaitu Putri Sultan Trenggana.
            Dibawah pemerintahan Adiwijaya kabupaten pa

jang berkembang dengan pesat, banyak kerajaan lain yang mulai tunduk kepada kerajaan tersebut. Sepeninggal Sultan Trenggana, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang yaitu sepupunya di Jipang panolan. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat yang merupakan adik dari Sunan Prawoto mendesak Adiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani yaitu kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, Ia berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.
Setelah peristiwa tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama.

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi. Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Tahun demi tahun perjanjian terlewati, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan.
Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya yaitu Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa yang merupakan putra mahkota, Arya Pamalad yang merupakan  adipati Tuban, serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya.
Sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya. Pada suatu hari seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton yang merupakan putri bungsu Adiwijaya. Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang. Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya


Demikioan cerita singkat jaka tingkir yang bisa saya bagikan untuk anada semua, terimakasih . jangan lupa mampir lagu untuk membaca cerita rakyat selanjutnya,,,, 

0 Comment "Jaka Tingkir"

Posting Komentar

Thank you for your comments